SPREISHOP - Peringatan nenek moyang dalam melihat bahaya lingkungan, yang
mengancam kehidupan manusia, sering dikemas melalui cerita rakyat atau
folklor. Hampir semua kebudayaan etnik di Nusantara melahirkan cerita
rakyat untuk membungkus realitas sosial dan pengetahuan lokal, yang
kemudian diwariskan kepada anak-cucu.
Manusia modern Indonesia diminta mengupas dan menaati pesan
cerita lisan peninggalan leluhur, apabila tidak sudi ditimpa bencana
alam. Bapak folklor terbaik kita yang baru saja tutup usia, James
Danandjaja, menerangkan bahwa folklor merupakan alat pendidikan dan
berfungsi sebagai sarana kontrol masyarakat.
Saat bencana banjir melanda di beberapa kota di Indonesia,
tiba-tiba saya teringat akan khazanah kebudayaan negeri ini yang
memiliki sejumlah folklor perihal air dan hutan. Ada pula kisah sejarah
lokal yang telah menjadi legenda, lantaran serpihan bukti historisnya
sudah hilang. Alhasil, masyarakat cenderung memaknai kenyataan sejarah
itu sebagai folklor.
Sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo tersimpan sederet cerita
rakyat yangkini nyaris dilupakan masyarakat pendukungnya. Misalnya,
Cariyos Jaka Tingkir.
Tempo doeloe, beberapa titik kedung sungai legendaris itu
kondisinya terawat. Airnya juga jernih karena warga mempercayai folklor
untuk memelihara daerah yang dikeramatkan itu. Bibir sungai tidak boleh
digerus, hanya ditujukan untuk mandi dan mencuci. Bengawan Solo tidak
menjadi asbak raksasa seperti sekarang, yang akhirnya menyebabkan
pendangkalan dan banjir.
Di Jakarta, hidup cerita rakyat si Japet yang jadi pegangan
masyarakat dalam memeliharaSitu Mangga Bolong. Terkisah, si Japet ialah
seorang buronanyang bersembunyi di dalam air di Situ Mangga Bolong.
Wujudnya adalah binatangyang menunggui situ. Mitos tersebut menjaga
kesadaran kolektif penduduksetempat untuk memperlakukan sumber daya air
di Situ Mangga Bolong sebagaimanamestinya, secukupnya.
Kemudian, beberapa hutan di Jawa digambarkan sebagai tempat
bersemayamnya lelembut. Ada gundul pringis, jrangkong, banas pati, dan
sundel bolong. Cerita mistik tersebut sengaja dirangkai nenek moyang
supaya kita menjaga dan melestarikan hutan, bukan malah menebangi dan
membakar pohon yang merindangi hutan. Folklor ini dengan sendirinya
menjaga hutan agar tetap berfungsi sebagai penyerap air, pelindung
erosi, dan perisai terhadap gangguan alam seperti badai dan topan.
Terdapat kisah yang tragis. Pada periode 1960-an, masyarakat
Surakarta dan sekitarnya kelabakan gara-gara banjir. Selama dua hari,
Solo menjadi "kota mati". Setelah ditelusuri, penyebab datangnya musibah
banjir itu adalah penebangan hutan di hulu Sungai Bengawan Solo.
Rata-rata cerita rakyat yang merupakan pusaka budaya etnik
mengajak kita untuk merenungkan dan menghayati pesan bahwa lingkungan
alam, termasuk hutan, sungai, mata air, dan semua yang hidup di gunung
dan rawa-rawa itu "ana sing kagungan" (ada pemiliknya). Sebab itulah,
kita sebagai pewaris tidak boleh sembarangan mengambil dan
mengeksploitasinya secara berlebihan. Murkanya alam, seperti datangnya
banjir yang mengepung Jakarta, lantaran buah dari perilaku kita yang tak
lelah
memperkosa alam.
Title : Pesan Folklor
Description : SPREISHOP - Peringatan nenek moyang dalam melihat bahaya lingkungan, yang mengancam kehidupan manusia, sering dikemas melalui cerita rakya...